Minggu, 01 Desember 2013

sate maranggi purwakarta

SATE MARANGGI
Khas Purwakarta
            Sate maranggi adalah makanan kuliner khas Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Sate maranggi ini berbeda dengan sate-sate pada umumnya, yang membedakan sate maranggi dengan sate lainnya yaitu potongan dagingnya lebih kecil dan bumbunya yang benar-benar meresap. Sate maranggi biasanya disajikan dengan sambal kecap atau sambal oncom yang pedas dan dilengkapi dengan ketan bakar yaitu sebagai pengganti nasi atau nasi timbel.. 
            Resep sate maranggi seperti bahan-bahan, dan cara membuatnya mulai dari sate dan bumbunya sebagai berikut :
Ø  Bahan-bahan sate maranggi :
·         1 kg daging sapi, kambing, ataupun ayam yang empuk
·         ½ ons ketumbar
·         Cuka
·         Garam secukupnya
·         4 siung bawang merah
·         4 siung bawang putih
·         Daun pepaya untuk membungkus sate maranggi

Ø  Bahan-bahan bumbu :
·         4 siung bawang merah
·         4 buah tomat
·         ½ ons cabe rawit
·         ½ ons cabe merah
·         Kecap manis
·         3 buah jeruk limau

Ø  Cara membuat sate maranggi :
1.      Daging sapi, kambing, atau ayam dipotong kecil-kecil atau sesuai selera.
2.      Tusukkan ke lidi sate maranggi.
3.      Haluskan bawang merah, bawang putih, ketumbar, dan garam.
4.      Lumuri sate maranggi kedalam bumbu.
5.      Bungkus sate maranggi dengan daun pepaya dan kukus selama 30 menit.
6.      Bakar sate maranggi hingga matang.

Ø  Cara membuat bumbu sate maranggi :
1.      Bawang merah, tomat, cabe rawit, cabe merah di ulek kasar.
2.      Tambahkan kecap manis dan air perasan jeruk limau.
Keberadaan sate maranggi sebagai kuliner khas Kabupaten Purwakarta diklaim oleh dua wilayah yaitu Plered dan Wanayasa. Sate maranggi di Wanayasa  baru muncul pada tahun 1970-an. Saat itu, Mak Unah (demikian beliau biasa dipanggil) menjualnya dengan cara berkeliling kampung di Wanayasa. Saat berjualan kerap dilanda rasa khawatir karena saat itu daerah Wanayasa masih dikelilingi hutan lebat dan masih banyak harimau yang berkeliaran, apalagi barang dagangannya adalah mutlak daging yang sudah tentu menjadi santapan binatang buas tersebut. Nama sate maranggi juga belum dimunculkan. Sang nenek biasa menyebut barang dagangannya dengan istilah sate panggang. Sedangkan klaim bahwa sate maranggi berasal dari Wanayasa dikatakan oleh Mimin, cucu langsung dari mak Uneh.
Melihat cerita yang diungkapkan Mak Unah di atas, tampaknya harus dikaji ulang mengenai asal mula sate maranggi. Alasan yang dapat diungkapkan bahwa sebelum tahun 1970 (seperti yang dikatakan Mak Unah) di daerah Plered, seorang pedagang sate maranggi bernama Mang Udeng yang memiliki nama asli Bustomi Sukmawirdja (65 tahun) telah memulai usaha sate maranggi sejak tahun 1962. Pada tahun 1962 Mang Udeng mulai berjualan sate. Seperti kebanyakan pedagang sate ketika itu, ia menjual sate sapi atau kerbau di sekitar Pasar Plered, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Menurut dia, nama Maranggi berarti rasa yang punya sari. Dia memberi nama Maranggi Plered untuk dagangan satenya, sedangkan menurut kamus bahasa Sunda, Maranggi artinya daging sapi yang dipotong-potong dan ditusuk seperti sate kemudian di rebus.
            Masyarakat Purwakarta sering memakan sate maranggi pada saat-saat tertentu, seperti pada bulan ramadhan, buka puasa bersama dengan keluarga ataupun teman tempat yang sering dikunjungi pasti sate maranggi. Bukan hanya rasanya yang enak, dagingnya empuk, dan bau daging kambing atau sapinya yang tak tercium, sate maranggi pun harganya terjangkau, dengan Rp. 800,- per tusuk,  kita sudah bisa menikmatinya. Pada acara-acara pernikahan atau khitanan pun sate maranggi sering disajikan dan menjadi menu favorit.
            Sate maranggi selain terkesan alami, juga menjanjikan masakan yang rendah kolesterol. Berbeda dengan sate-sate lain  yang menggunakan bumbu kacang dan lontong. Teman santapan sate maranggi adalah ketan bakar atau nasi timbel yang dipotong kotak seukuran 5 x 5 cm ditambah dengan oncom sebagai cocolan. Saat ini sate maranggi sudah meluas, tidak hanya di daerah Purwakarta saja adanya, tetapi dikota-kota lain pun ada, seperti di Bandung, Bogor, dan lain-lain.